Senin, 20 Juni 2011

NYANYIAN HATI (NOVEL)

Nyanyian hati
Oleh : BABAN

Semilir angin menghembus rerumputan, bergoyang, menari mengikuti nyanyian sunyi udara sejuk basah. Mentari malu-malu menunjukkan wajah cerahnya di balik kabut tipis berjalan melambat menuruni hijaunya dedaunan. Gunung Lawu kebiruan menampakkan keindahan dan keagungan alam. Gemericik air mengiringi nyanyian burung berlomba mengadu kemerduan. Hamparan rumput hijau bersaing semburat berbagai bunga bertebaran sepanjang mata memandang. Minggu pagi ceria membawa tapak-tapak kaki mungil berkejaran di tanah lapang berpasir berhias rerumputan. Canda tawa permainan bola plastik sekumpulan anak desa Gandon di kaki gunung Lawu bertelanjang kaki memecah kesunyian pagi. Tanah becek berlumpur menghiasi tubuh-tubuh mungil bertelanjang dada bagai karya maestro lukis Afandi. Sorak sorai mengiringi gol demi gol bagaikan perayaan piala dunia. Sesekali permaianan berhenti bola plastik tidak bulat lagi, memerlukan perbaikan. Bersamaan sinar mentari terasa menyengat permaianan berhenti. Lari-lari kecil mengantar langkah mungkil terhenti di sungai membelah tepian desa.
            Air sungai menghapus kelelahan, kehausan. Keriangan permaianan air membawa suasana sukacita memancar pada wajah-wajah mungil penuh keluguan. Canda tawa, jeritan, teriakan mengiringi permaianan. Tetesan air di badan melunturkan sifat-sifat jelek ikut terbawa arus sungai mengalir deras. Menggigil, gemetaran jemari, gerakan tubuh sepontan merespon dinginnya air sungai dan udara lereng pegunungan menghentikan canda tawa di sungai. Lari-lari, berkejaran, teriakan, tertawa membawa langkah pada mushola Al Ikhlas desa Gandon di tepi jalanan berbatu. Tanpa diperintah dan komando kerja bakti membersihkan mushola bersamaan mengusir getaran jari-jemari dari dinginnya udara pegunungan. Menyapu lantai, halaman, mencabut rumput, mencuci tikar di pemandian umum serta mengisi kolah untuk air wudhu. Keriangan mewarnai setiap langkah dan kerja bakti pagi hari tanpa pamprih.
            Mushola Al Ikhlas bagi masyarakat Gandon dikenal Langgar Biru,  mempunyai cat pintu,  jendela berwarna biru kusam pratanda entah sudah berapa tahun melekat erat menjadi saksi sejarah orang-orang menghadap Ilahi penuh keihlasan. Langgar Biru berukuran tiga kali lima meter lantai plester terkelupas beberapa bagian. Tembok acian kasar bergelombang seperti ular berenang, pasir  menempel dinding berguguran tatkala punggung dengan halus menempel, membelainya. Tiada kaca di pintu, cendela. Dinginnya udara bebes menerobos menusuk tulang. Genting tanah liat kehijauan berhias lumut bagaikan permata terpancar kesejukan. Plafon putih kecoklatan dari tetesan, resapan air hujan memberi warna keindahan anyaman bambu mulai melapuk, mengelembung membawa beban kotoran. Tempat Alqur’an menggelantung erat di plafon  pojok kanan pintu. Di samping pintu satu-satunya tanpa korden, terikat kawat menghitam penuh sesak Al qur’an dan Jus ‘Ama. Kusam sampul menghilang, sobek. Papan tulis hitam keputihan miring di bawah cendela kecil samping kiri. Tikar pandan kusam berbagai ukuran, warna-warni melekat erat lantai berlubang memenuhi mushola dari dinding ke dinding.
            Depan mushola bak air semen berpancuran bersumbat kayu kering terbungkus kain bekas pakaian tiada penutup terik mentari dan hujan. Air kecoklatan diambil dari pemandian umum santri-santri Langgar Biru. Tatapanan mata tertuju rimbunnya rumpun pisang bersanding ketela pohong, umbi tales depan, samping mushola. Tanah becek berpasir berhias rerumputan, bebatuan berselimut lumut menghijau membawa nyanyian hati ketentraman. Pohon mlijo berdiri angkuh kekekaran beradu besar pohon nangka menghalangi terik mentari menerobos, menghantam genting-genting sayu Langgar Biru. Dedaunan menguning, menghangus kecoklatan berserakan, bertebaran berlomba terpaan angin mengadu kencang. Jalanan tertata batu-batu besar menahan himpitan rerumpulan menopang setiap lewat.
            Desa Gandon berjarak tujuh belas kilometer dari Sarangan lereng gunung Lawu sebelah timur terpancar keindahan telaga alamnya, tiga kilometer selatan kota Magetan berjalan melewati tiga gundukan tanam, tiga sungai besar, kecil berjembatan bambu teranyam melintang. Jalan kaki satu-satunya cara ke kota dalam berbagai keperluan bila ingin dekat, sebenarnya ada jalan lain bertata batu memutar bila berkendaraan. Jangankan mobil sepeda onthelpun harus dituntun agar bisa melewati sampai ke kota dengan cepat.
            Mayoritas masyarakat sebagai buruh tani pengarap, sebagian kecil petani. Mengerjakan sawah, berkebun umbi-umbian, memelihara sapi, kambing, kelinci, ayam menjadi rutinitas keseharian. Sebagian kecil berjualan di pasar tradisional sekitar Magetan dan kota kecamatan. Generasi muda memilih merantau di kota-kota besar mengadu nasip berjuta harapan kesuksesan membenak dalam sanubari. Kotoran hewan ternak, lumpur sawah, hijaunya tetumbuhan tidak menggugah minat menggeluti pekerjaan warisan orang tua. Ibu kota negara bagaikan mahnit kesuksesan, kemapanan, kesenangan, kemewahan, serta kabahagiyaan.
            Baban anak desa Gandon membawa ember besar penuh air. Kedua tangan menggenggam, mengepal terselip gantungan ember berayun menghalangi langkah-langkah kaki mungil. Langkah demi langkah berjalan pelan terhenti, terhuyung, berhenti mengumpulkan sisa tenaga berjalan. Semangat membera tatkala jamban air wudhu memandang sayu terselip senyum tipis mengembang mengharap guyuran ember demi ember membasahi sanubari. Cipratan, tumpahan membasahi celana hingga ujung kaki menambah semangat pangilan nyanyian hati.
            “Ayo aku bantu!”
            “Iya trima kasih, awas tumpah, pelan-pelan!”
Suara air nyaring menambah isi kolah terasa merdu nyanyian hati merasuk sanubari. Jari-jemari memerah menghentikan aliran darah tergencet beban keikhlasan. Anak-anak santri langgar Biru berlomba berkejaran menyelesaikan kerja bakti memenuhi isi kolah mushola. Capek, haus, lapar menjadi pemacu semangat hingga semua pekerjaan terselesaikan bersamaan mentari menyengatkan jarum-jarum sinarnya menusuk punggung-punggung mungil kehitaman basah bersimbah peluh keikhlasan, kesenangan, kebanggaan, serta harapan janji ilahi di alam kelanggengan.
            Anyaman bambu bahan pembuat caping menghampiri langkah Baban memasuki halaman rumah yang sedang berjemur mengharap belas kasihan sang surya untuk menghilangkan sedikit air yang menempel.
“Kerja bakti neng langgar wis rampung Le” Le pangilan masyarakat Jawa pada anak laki-laki yang berasal dari kata Thole.
            “Sampun Mbok, nembe kemawan rampung.”
            “Ya sudah, itu ketela pohong di meja, dimakan, kalau sudah bantu Mboe!”
            “Nggih Mbok.”
Langkah Baban diiringi tetesan air menghampiri meja bambu pojok dapur mengitam berhiaskan jelaga sisa-sisa pembakaran kayu dapur. Jari menggengkam singkong, mulut beradu menghaluskan makanan memenuhi panggilan perut keroncongan. Tenggorokan terasa susah menelan menyuruh langkah kaki menghampiri genthong tanah liat samping tungku. Tangan meraih gayung periuk penuh air genthong. Suara air membasahi tenggorokan bersamaan sisa air tumpah membasahi leher hingga dada menyegarkan badan. Tegukan demi tegukan mengatur ketela pohong memasuki perut membahagiyakan cacing-cacing kelaparan. Langkah perlahan terhenti depan pintu.
            “Sudah, kalu sudah bantu Mboke menganyam!”
            “Ya Mbok, sebentar saya habiskan ini dulu.”
Jari-jemari meraih anyaman bambu. Menganyam caping sudah menjadi kebiasaan Baban membantu orang tua. Kedua jemari dengan lincah bergerak menyelesaikan anyaman demi anyaman.
            Menganyam caping menjadi tulang punggung pengahasilan sebagian besar masyarakat Gandon disaat tidak ada pekerjaan di sawah. Kemarau mengharuskan tanah-tanah garapan dibiarkan ditumbuhi rumput. Kesulitan irigasi mengharuskan sawah bera tanpa tanaman yang menghasilkan. Kebutuhan rumah tangga dapat tertolong dengan anyaman caping.
            Seminggu sekali sehabis subuh ibu-ibu menggendong hasil anyaman dibawa ke pasar caping tetangga desa. Pasar caping buka sehabis subuh sampai matahari terbit. Juragan caping bersiap di pasar menampung semua kerajinan warga desa sekitar. Patokan harga ditentukan para juragan caping. Hasil penjualan caping sebagian dipakai untuk membeli bambu di pasar bambu tidak jauh dari pasar caping.
            Baban dan mbok Riyem berlomba dengan waktu menyelesaikan anyaman demi anyaman. Pedaringan tempat penyimpanan beras tidak berisi lagi. Harapan beras menghuni pedaringan dengan menyelesaikan caping-capingnya agar bisa dijual keesokan hari.
            Ayo balapan, entuk okeh-okehan” terdengan sura ibu baban menyemangati dengan bahasa Jawa.
            Nggih Mbok, niki sanpun pikantuk kalih
Mereka berdua beradu cepat dengan tenggelamnya mentari di balik gunung Lawu nan angkuh. Radio Siaran Pemerintah Daerah kabupaten Magetan dengan setia menemani dua insan memenuhi kebutuhan hidup. Suara radio terdengan samar menghilang bersamaan semakin menipis baterei penyok menghitam.
            “Sudah di jemur belum tadi”
            “Belum, lupa tadi”
            “tidak apa-apa, besuk lagi di jemur biar bisa untuk  mendengarkan kethoprak, lakone Syeh Jangkung,
             jik rame.”
            “Ngih Mbok.”
            Petang berselimut kabut, dingin menusuk tulang-tulang. Lampu minyak mulai menerangi rumah-rumah penduduk berselibut kabut. Jangkrik, belalang kayu beradu nyaring menyanyikan nyanyian hati. Sesekali suara burung malam menambah suasana sunyi menyelimuti desa Gandon. Anak-anak meringkuk dalam dekapan orang tua menahan dinginnya kabut. (bersambung bagian 2)